Minggu, 26 Februari 2017

MASJID HUNTO ADALAH MASJID TERTUA DAN BASIS PENYEBARAN ISLAM DI GORONTALO

Masjid Hunto dibangun pada tahun 1495 Masehi atau 899 Hijriah. Kala itu struktur bangunannya hanya berukuran 12x12 meter. Namun setelah berkali-kali direnovasi kini luasnya menjadi 17x12 meter dengan tambahan ruang salat bagi jamaah perempuan.
Keempat tiang masjid semula terbuat dari kayu kelapa. Namun saat ini seluruhnya telah diganti menjadi beton.
Meski telah direnovasi, pengelola masjid secara turun-temurun berupaya tetap mempertahankan bentuk dan ukuran bangunan utama masjid.
Masjid Hunto menyimpan banyak cerita menarik di balik pembangunannya. Masjid ini tak hanya menjadi simbol masuknya Islam ke Gorontalo, tetapi juga memiliki kisah 'romantika' masa lalu yang selalu dijaga dari generasi ke generasi.
Dikisahkan, dahulu Masjid Hunto merupakan 'mahar' pinangan Sultan Gorontalo. Saat itu, Sultan Amai ingin mempersunting seorang putri bernama Boki Autango, anak dari Raja Palasa yang memerintah di Moutong, daerah perbatasan antara Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Raja Palasa yang merupakan seorang Muslim kemudian mengajukan dua syarat agar pinangan tersebut diterima, yakni Sultan Amai harus memeluk agama Islam dan membangun sebuah masjid di Gorontalo sebagai mahar pernikahan.
Pada masa itu, Raja Amai dan seluruh rakyatnya memang masih menganut animisme. Tak pikir panjang, syarat tersebut pun langsung dipehuni Sultan Amai.
Sang Raja mengucapkan dua kalimat syahadat dibantu oleh seorang ulama bernama Maulana Syekh Syarif Abdul Aziz, yang didatangkan langsung dari tanah Arab demi membantu masuknya Islam ke daerah Amai.
Sejak saat itulah gelar Sultan diberikan pertama kali kepada Raja Amai. Pasca hijrahnya sang raja menjadi Muslim, seluruh rakyat yang dipimpinnya pun turut memeluk Islam.
Kemudian, Sultan Amai membangun sebuah masjid dan memberinya nama Hunto. Nama Hunto berasal dari kata Ilohuntungo yang berarti 'basis atau pusat perkumpulan dan penyebaran Islam'.
Setelah Masjid Hunto berdiri, sang sultan pun akhirnya dapat menikahi Putri Raja Palasa dengan menggelar pesta tujuh hari tujuh malam. Seluruh rakyat menyambut pernikahan dengan mengikrarkan sebuah janji atau sumpah yang berbunyi 'bolo yingo yingondiyolo monga boyi' yang berarti 'hari ini hari terakhir makan babi'.
Sejak saat itu, Masjid Hunto menjadi pusat keagamaan bagi masyarakat setempat. Kisah romantika Sultan Amai dan Putri Raja Palasa pun terus menjadi bagian yang terpisahkan dari masjid ini sampai sekarang.
Kini, Masjid Hunto telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo karena masih terdapat beberapa peninggalan bersejarah di dalamnya.
Masjid Hunto terus berfungsi aktif sebagai pusat dakwah bagi umat Muslim Gorontalo sampai saat ini. Tak hanya digunakan untuk salat, masjid ini juga kerap dijadikan tempat melangsungkan berbagai kegiatan syiar seperti pengajian Al-Quran, pengajian Kitab Kuning, hingga buka puasa bersama saat bulan Ramadan. (dream.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar